MALAM BISU
: bagi isteriku
Malam kelam
Di luar hujan mengguyur
Di kamar kami membisu
Ibu sudah lama terlelap
Lagu kenangan mengalun
Kami tetap mebisu
Senyum istriku rasanya basi
Di luar masih hujan
Kami tetap membisu
Lidah terasa kelu
Dan,
Malam tetap membisu
Simpang Keramat-Tanjung Enim, 6 Jan 2005
KAU ISTRIKU
: bagi pustri istriku
Kau isteriku
Itu yang ku tahu
Kau semangatku
Itu yang kumau
Kau buka matamu
Itu hanya untukku
Kau pelitaku
Itu harapanku
Kau membisu
Itu yang keliru
Kau membatu
Itu tak berpadu
Kau selembut salju
Itu yang kutunggu
Kau selalu tersenyum
Itu yang kurindu
Simpang Keramat-Tanjung Enim, 6 Januari 2005
PUISI-PUISI IMRON SUPRIYADI
PUISI UNTUK ACEH
TSUNAMI, AIR MATA KAMI *)
Airmata Papua,
Nabire
Dan Alor
masih menggenang,
Kini, air mata tumpah lagi
Tsunami, memecah bumi
Di Aceh
Di Sumatera Utara
Di Malaysia
Di Srilanka
Di India
Di Thailand
dan di sini, di tempat aku berdiri
air mata masih berurai menusuk hati
Tsunami,
Kau hanya utusan
Kau hanya angin dan air
kemudian menggumpal
bergulung-gulung
dan,
menghempas bumi
Kini,
Aroma kematian tercium dari sini
Empat puluh ribu lebih nyawa melayang
Di jalanan,
Di sudut-sudut kota
Di bawah puing-puing kehancuran
Masih terselip,
Tergeletak ribuan mayat
tanpa nama
Sampai kini,
Masih terdegar Jerit dan tangis mereka
Kelaparan
Kehausan
siap menerkam dan membunuh mereka
Tsunami,
Aku ingin kau bicara hari ini
Aku ingin kau kabarkan
tentang apa saja
sehingga musibah ini terjadi
Apakah ini Kemurkaan?
Apakah ini Teguran?
Atau
Ini pemeliharaan Tuhan atas dosa-dosa
Atau bahkan ini sebuah laknat?
Tsunami,
Sekiranya kau beritahu kami sebelumnya,
Mungkin kami akan memilih menjadi gunung dan tanah,
Sehingga kami tak menerima kepedihan ini
Sekiranya kau beritahu kami sebelumnya,
pasti, kami,
akan memilih tunduk dalam ketaatan
dari pada terbuai dalam keangkuhan
Tsunami,
kini telah terjadi
Ribuan nyawa kau serahkan kembali
Harta benda kau kembalikan ke bumi
Air mata anak negeri tak terbendung lagi
Mungkin,
Karena kedurhakaan kami
hingga Tsunami harus menyayat ibu pertiwi
Atau,
Mungkin karena kelalaian kami,
hingga Tsunami menjadi-jadi
Kini,
aku, kami dan siapa pun ia
hanya akan kembali menangis
menangis untuk yang ke sekian kali
dan besok,
aku harus berlari menuju Tuhan
dan berkata ; Tuhan, aku ingin kembali
Tanjung Enim, 26 Desember 2004
(Indonesia Menangis)
*) Dibacakan pada acara Peringatan Tahun Baru PTBA di Gedung
Serba Guna 31 Desember 2004 oleh Boni Sudarman Aktifis TEATER
BATU HITAM TANJUNG ENIM.
PUISI-PUISI IMRON SUPRIYADI
KEPADA PARA PENGUASA
Aku dengar,
Hari ini kalian masih makan nasi
Hari ini kalian masih berak tai
Lalu,
Kemarin kalian juga masih butuh matahari
Dan malamnya,
Kalian masih ingin pelukan istri
Tapi kabar dari koran,
Kalian sudah menjadi pemakan besi
Kalian juga menjadi perusak alam hayati
Kalian juga yang membuat kelaparan menjadi-jadi
Dan kalian juga,
Lebih senang menebar paku dan jarum ke lubuk hati
Lebih senang berpangkutangan tanpa rohani
Lebih senang menumpuk materi tanpa henti
Dengar,
Dengar para penguasa
Kini, aku tak lagi sendiri
Kini aku bersama buruh, nelayan dan petani
Menyatu dalam satu hati
Berbaris dalam satu janji
Dan mulai hari ini,
Kami akan teriakkan : enyahlah dari negeri ini
Atau kalian harus kami masukkan ke dalam peti mati
Desa Telatang-Lahat Sumsel, 12 Mei 2004
30 TAHUN BERTANYA KEPADA TUHAN
Tuhan,
30 tahun kuhirup udara-Mu
30 tahun kujalani taqdir-Mu
30 tahun kuselami ayat-ayat-Mu
dan,
30 tahun kusetubuhi dengus napas-Mu
Tapi, hingga kini,
Napasku masih tersumbat senyum masam ayahku
Kakiku masih tersantuk kerikil dan bebatuan
Lalu aku terperosok ke dalam lubang nestapa
Tuhan,
Sekiranya Engkau mengizinkan-ku
Sekiranya Engkau bersedia memindahkan
Wewenang permintaan Muhammad kepadaku
Maka,
Akan kubalikkan pabrik-pabrik menjadi hamparan sawah
Akan kugulung perkebunan kelapa sawit
Lalu,
Akan kulemparkan para penguasa-penguasa bedebah itu
Lantas kuperintahkan mereka
Agar menjilati pantat para buruh dan petani
Agar menjilati jari jemari para perempuan pengumpul tanah perkebunan
Tuhan,
30 tahun kucari taqdir-Mu
30 tahun kunaiki cahaya-Mu
30 tahun ku-dzikir-kan ayat-ayat Mu
Tapi, sampai hari ini
Aku, kau dan kami semua masih terus menanti
Desa Telatang-Lahat Sumsel, 12 Mei 2004
LAPORAN KEPADA TUHAN
Tuhan,
Kemarin aku sudah mulai tersenyum
Dadaku yang penuh
Secara perlahan sudah kukeluarkan, kulepaskan
dengan bersiul
dengan batuk
dengan berteriak
atau kukeluarkan melalui kentut
Aku lihat,
Beberapa hari yang lalu
Belaian kasih dan sayang-Mu menebar
Ke setiap dusun
Ke rumah-rumah kumuh
dan kurasakan lewat tenggorokanku
Dan kemarin,
Kutangkap cahaya-Mu dengan tangan kecilku
Kupeluk erat rahman dan rahim-Mu
Lalu kutebarkan kepada siapa saja
Yang sedang menangis
Yang sedang lapar
Yang sedang haus
Atau yang sedang dalam ketertindasan
Tapi, Hari ini
Aku laporkan kepada-Mu
Ambon berdarah lagi
Ambon menangis lagi
Dari sana,
Kulihat ratusan daging terbakar
bau anyir darah menyengat ke setiap meja makan
dan air mata, keringat telah menjadi darah
Tuhan,
Aku yakin
diatas singgasana-Mu
Engkau telah mencium bau amis darah ini
Engkau juga telah mendegar tangisan sejuta nyawa yang tak berdosa
Dan Engkau juga pasti mendengar
Berapa puluh manusia yang tertawa diatas ambon berdarah
Tuhan,
Laporanku ini sudah pasti tak berkenan untuk-Mu
Sebab saat aku lahir,
Aku sudah berjanji untuk memelihara bumi yang Kau titipkan padaku
Tapi,
Maafkan aku Tuhan
Sekali lagi maafkan aku,
Karena manusia sebangsaku
Telah melumuri bumi-Mu
dengan darah dan air mata
Maka,
Dari laporanku ini,
Akan kukatakan
kepada langit
kepada bumi
dan kepada laut
Kalau memang kedamaian bumi ini
harus membutuhkan kematianku
membutuhkan darah terakhirku
Maka hari ini,
Ambillah
ambillah aku sekarang juga
Dan jangan lagi
kalian nodai bumi ini
dengan duka
dengan tangisan
dan dengan darah
Jl.Simanjuntak-Palembang, 3 April 2004
BUKAN AKU
Kalaupun
Dana BBM itu di gelebungkan
Sungguh, engkau bukanlah aku
Kalaupun,
dana kompensasi BBM itu diselewengkan
Sungguh, itu bukan aku
Kalaupun
dana abadi umat itu juga dikorup
Sungguh, engkau juga bukanlah aku
Lalu,
Kalaupun
dana reboisasi itu juga kau curi
Sungguh, itu juga bukan aku
Kalaupun
Menjadi Pegawai Negeri harus menyuap
Sungguh, itu bukan aku
Dan kalaupun
dana KPU juga kau buat menyuap
itu juga bukan aku
lantas, siapakah aku
aku adalah hati nuranimu
Pertengahan Ramadhan – Tanjung Enim, 17 Okt 2005
AKU KIRA
Aku kira,
Ramadhan ini kau berpuasa
Sebab, kau juga ikut berbuka
Aku kira,
Ramadhan ini kau juga tarawih
Sebab, kau juga ikut berjamaah
Dan tak kukira
Ramadhan ini
Kau tidak melakukan apa-apa
Ramadhan – Tanjung Enim, 17 Okt 2005
MANUSIA BATU
Kulihat,
Tubuhmu manusia
Kuraba,
Kulitmu manusia
Kucium,
baumu juga manusia
Badanmu manusia
Matamu manusia
Makanmu, juga seperti manusia
Tapi, Hidungmu
Telingamu
Mulutmu
Dan hatimu adalah batu
Kemarin, aku lihat,
kau bergaul dengan manusia
Bicara dengan manusia
Menikah dengan manusia
Beranak manusia
Selingkuh dengan manusia
Bekerja juga seperti manusia
Tapi, kau tetap batu
Dan aku juga melihat,
Kau tertawa seperti manusia
Kau berpikir seperti manusia
Kau duduk seperti manusia
Kau bersetubuh, juga seperti manusia
Tapi, gayamu
Ke-angkuhanmu
Ke-sombonganmu
Ke-dengkianmu
Dan ketulian mata hatimu
Persis seperti batu
Bahkan lebih dari itu
Tanjung Enim, RGBA- Ramadhan 1426 – 05 Oktober 2005
AKU TAHU SIAPA KAMU
: Puisi Buat Amerika
Aku tahu,
Aku bukan siapa-siapa
Tapi aku tahu kamu siapa
Aku bukan apa-apa
Tapi aku tahu mau kamu apa
Aku bukan raja api
Tapi aku tahu kau berman api
Aku tahu kau beri makan kami
Tapi aku tahu budimu setengah hati
Aku tahu kau kampayekan demokrasi
Tapi aku tahu kau ciptakan anarki
Aku tahu kau berikan nasi
Tapi aku tahu kau memberi duri
Kau kuras harta kami
Kau sadap hasil bumi kami
Kau sikat sawah ladang kami
Dan besok,
Kau mungkin akan hisap darah kami
Maka, kukatakan padamu : Amerika! Go to Heal!
Pergilah ke neraka!
Muara Enim, 12 Juli 2008
Ramadhan itu
jelang ramadhan
Panitia masjid
Ustadz, santri dan kaum moralis
Berkumpul
Ia bersalam-salaman
bertemu
Tersenyum
Dan mulutnya
Tak lepas dari istighfar
Satu hari ramadhan
Ustadz dan para santri masih berkumpul
Ia bertemu
Bersalaman
Tapi tak lagi senyum
Mulutnya juga diam
Satu minggu ramadhan
Mereka tetap begitu
Jelang lebaran
Ustadz, dan para santri
Sudah sepi
Tak ada di masjid
Sorenya temui mereka di pasar
Tanjung Enim 17 Okt 2005
TAK ADA KERJA
Bosku,
hari ini tak ada kerja
Kemarin,
juga tak ada kerja
Lusa, mungkin tak ada kerja
Sebab,
Bosku memang tak bisa kerja
Tanjung Enim – 5 Oktober 2005 – Ramadhan 1426 H
MEMBURU TAQDIR
Langkahku terayun memburu taqdir-Mu
Senandung doa slalu kulantunkan untuk-Mu
Kuhalau karang dan ombak dengan Cinta-Mu
Tapi denyut napasku tersantuk batu
Ku ingat slalu baris kata dari langit-Mu
Sebagai tanda Cintaku pada-Mu
Kubiarkan diriku tetap dalam penjara-Mu
Tapi kini kuteteskan noda dalam surga-Mu
Tuhan,
Jangan terbangkan kembali Cinta-Mu ke awan
Walau nama-Mu baru sebatas kata
Jangan biarkan diriku dalam nestapa
Walau nista masih membalut rasa
Tuhan,
Rengkuhlah aku yang kini hampa
Kupasrahkan jiwa yang kini fana
Lambaikan tangan-Mu sebagai kata maaf saja
Sebab hanya doa dan tangisan yang aku punya
tiga dini hari
di Palembang, 12 Okt 2009
REMBULAN CINTA
Senyum rembulan menembus malam
Bersinar terang diatas mega-mega
Kerlip bintang turut menyambut ceria
Hadirkan warna dalam cinta
Dengus napas membawa luka
rembulan cinta tertusuk ilalang
Nyanyian surga tlah bernada sumbang
Karena rembulan tak lagi perawan
Tersenyumlah rembulan walau terluka
Kejarlah surga diatas langit cinta
Noda dan dosa hanya kealpaan belaka
Pintu taubat masih terbuka
menuju keabadian Cinta
Palembang, 17 Okt 2009
CINTAMU BUKAN GINCU
Cintamu hadir di sepanjang waktu
Bersenandung slalu dalam kalbu
Cintamu adalah cahaya bagiku
Tapi entah mengapa
Hatiku masih terbalut debu
Ku yakin cinta-Mu bukanlah gincu
Seperti nyanyian pilu dalam sumpah palsu
Ku yakin cinta-Mu datang dari surga-Mu
Tapi entah mengapa
Senandung rindu slalu membisu
Tuhan,
Bukan maksudku melukai langit-Mu
Tapi pongahnya dunia
Tlah menutup cahaya cinta-Mu
Bukan kerinduan semu yang aku mau
Tapi nafasku masih beriring nafsu
Tuhan,
Kerinduanku kini kembali menderu
bersenandung dalam taubat pilu
kusujudkan diri diatas sajadah-Mu
tuk menebus luka nestapa atas kelupaanku
Palembang, 17 Okt 2009
LUKA CINTA
Saat mentari menyambut pagi
Kusemai Melati diatas Musi
Bersama hujan dan Minyak Kesturi
Tuk meraih cinta sejati
Separo waktu Mentari tenggelam kembali
bersembunyi di balik besi
nyanyian pilu terdengar dari serambi
menyayat luka dalam hati
Melati,
Mengapa kau biarkan bibir mu membisu
Mengapa kau biarkan hatimu membeku
Berkatalah untuk memecah batu
Berkatalah untuk menebus luka
Melati,
Kini cintaku hanya berbalas dusta
Semua jan jadi saksi di jembatan ampera
ribuan kata tak jua membuatmu ceria
Biarkan kita nanti bertemu di Surga
Palembang, 17 Okt 2009
KETIKA ENGKAU RINDU
: bagi kawanku Warman P
Kawan,
Kau memang tak lagi dikejar senja
Kau juga tak lagi dihimpit naluri kelelakian
sebagaimana aku
Bulan, matahari dan langit
Atau Panji dan Nia
menjadi saksi atas ke-khalifahanmu
Lantas,
Hari ini kau katakan padaku
Aku sedang rindukan malam di jalanan
Aku sedang rindukan bau ikan di sampan
Aku juga sedang rindukan debu
Atau suara mesin di atas Ampera
Tapi, Maafkan aku.
Sebab, hari ini
Aku sedang rindukan malam diatas ranjang
Aku sedang rindukan bau parfum pengantin
Aku sedang rindukan dengus napas
Dan malam nanti,
Aku masih ingin mencium bau keringat
Aku masih ingin mendegar desahan
Dan aku,
masih ingin menjadi ilalang
LPM IAIN RF.Palembang-14 Mei 2004