Puisi Baso Plembang – Katonyo, Wong Kito Gilo Galo

Puisi-Puisi Imron Supriyadi

Wong Kito Gilo Galo

Aku jinguk di sepanjang jalan Plaju Palembang

Pengendara sepeda motor

pecak la nak kehujanan galo

Pengedara mobil, pecak wong gilo

Wong yang bejalan kaki

raso dikejar anjing gilo

sampai di simpang Jaka Baring

Mereka tejugak galo

lampu merah di depan mato

Tapi ado be yang nak brejo

La jelas, Zebra cross bukan miliknyo

Tapi pecak punyo bapaknyo

Ndak pacak ado celah dikit

Sepeda motor laju galo

Siapo be yang jinguknyo

Dak pacak nak negahnyo

selip dikit laju belago

Mungkin,

inilah kato wong di luar sano

Wong kito gilo galo

Makonyo, siapo be ke Plembang

Lemak lah kito ngelus dado

dari pada kito laju saro

Jalan Seruni-Palembang, 19 Oktober 2018

Karena Kami adalah Santri


Karena pesantren tempat belajar kami

Orang kemudian menyebut kami : santri

Karena kami adalah santri

Tiap hari harus mengaji, dari pagi hingga sore hari

terkadang sampai menjelang pagi

Tanpa henti membaca Al-Quran Suci

Karena kami adalah santri

Terbiasa, sarapan hanya lauk krupuk dan mie

Makan sehari-hari, sekadar perut berisi

sepertiga air, sepertiga angin dan sepertiga nasi : itu pesan Nabi

Jarang-jarang kami makan roti, apalagi daging sapi

Kecuali kalau ada gerakan Jumat berbagi

Karena kami adalah santri

Terbiasa hidup mandiri, bersama Nyai dan Kiai

Membasuh baju dan celana tanpa tukang cuci

Piring, cangkir dan sendok tanpa pembantu pribadi

Sesekali, kami saling pinjam sarung, gamis dan peci

Akibatnya, penyakit kulit menular tanpa henti

Karena kami adalah santri

Keluar pondok hanya seminggu sekali

Uang jajan sehari-hari wajib dibatasi

Membuka eF-Bi harus mawas diri dan hati-hati

Dua malaikat selalu lekat dalam sanubari

Karena kami adalah santri

Belajar membuang rasa iri dan dengki

Membersihkan dosa jasmani dan ruhani

Menjaga diri godaan duniawi : teknologi dan televisi

Agar kelak, kami menjadi hamba sejati

Karena kami adalah santri

Sesekali, kami suka menghibur diri mengusir sepi

Diantara kami, ada yang mencuri nasi dan lauk kawan sendiri

Tapi itu hanya senda gurau ala santri

Tak ada rasa ingin saling menyakiti

Apalagi harus mengafirkan saudara muslim sendiri

Karena kami adalah santri

Taat pada Ilahi Robbi

Memegang teguh Al-quran Suci

Taat pada orang tua dan kiai : : Itu janji sampai mati

Pkl. 01.00, Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang,

28 Februari 2019

Panggil Saja Kami Santri


Panggil saja kami santri

kami juga pemilik ini negeri

berhak atas rejeki yang Tuhan beri di NKRI

Pantang makan sendiri,

apalagi harus berebut dasi dan kursi

Panggil saja kami santri

Tak rela negeri merah putih disakiti dan dilukai

Tak rela bangsa ini hilang harga diri

Tak rela orang asing menginjak-injak ini negeri

Panggil saja kami santri

Siap sedia mengawal nusantara ini

Pantang mundur walau di hadapan teng baja dan belati

Air mata, tetes darah dan tangisan

adalah jihad kami

demi kesucian nama Tuhan di bumi pertiwi.

Pkl. 01.00, Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang,

28 Februari 2019

Kami tak ingin masuk surga sendirian


Aku adalah santri,

Kalau tanganku dibawah, bukan berarti aku sedang meminta

Tapi, aku sedang mengajak semua, untuk memberi apa yang kita punya

Agar aku dan semua bangun dari ketidaksadarannya

kalau sejak lahir kita tak pernah membawa apa-apa

kecuali rengek-an, tangisan dan nestapa

Aku adalah santri,

Kalau tanganku di bawah, bukan karena ditakdirkan menjadi penerima

Tapi, untuk membuka ruang batin siapa saja, tuk menuju kesejatian hamba

Aku adalah santri,

Kalau tanganku diatas, bukan berarti aku berpunya

Tapi karena aku tak punya apa-apa,

maka aku harus memberi apa yang sebenarnya

memang tak pernah aku punya

Sampai kini, orang masih menyebutku santri

karena aku makan, minum dan tidur di pesantren ibu pertiwi

Kini, mulai sekarang dan sampai kapan saja

aku mengajak untuk berbagi rasa

rasa lapar

rasa kenyang

dan dahaga

Agar kelak di hadapan Tuhan

tak ada yang bertanya :

Mengapa kau masuk surga sendirian!

Mengapa saat di dunia

kau tak mengajak semua untuk ikut merasa?!

Bila kelak ada pertanyaan itu,

kami akan menjawab :  

Kami sudah mengajak semua untuk pintar merasa

Tapi yang kalian meilih bersikap merasa pintar

Kami sudah menolak masuk surga sendirian

Tapi kalian membiarkan kami bertanam tanpa teman

Setiap tahun kami menggelar lomba baca Al-quran

Tapi, lantunannya tak membuat kalian sembuh dari buta

Matanya terbuka lebar, tapi tak melihat sesiapa

punya telinga, tapi tak mendengar apa-apa

dan punya harta tapi sia-sia.

Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat

Palembang, 28 Februari 2019

Izinkan Aku Menabur Tinja di Wajahmu


Puisi : Imron Supriyadi

Entah harus bagaimana

Aku mengendalikan kerinduanku

untuk tidak lagi menabur tinja di wajahmu

Sejak sore tahun lalu, kemarin

atau hingga hari ini dan tadi malam

aku masih belum sanggup mengikat syetan dengan kalimat Tuhan

agar aku mengubah tinja menjadi cinta

Entahlah,

Sesekali, bila aku ingat pidato dan orasimu

Dalam satu detak napas, membuat aku ingin bertemu kembali denganmu

lalu kita bercengkrama, berkisah tentang apa saja

seperti ketika kita masih dalam irama yang sama

Tapi pada detik berikutnya,

melihat deretan huruf namamu

di koran

di televisi

di media sosial

membuat perutku mual dan ingin berlari ke WC

untuk kemudian memuntahkan semua orasimu

dan memoleskannya di setiap gurat mukamu

Satu kali, kau lalu bertanya

mengapa aku seperti itu?

Jawabannya, bukan saja akan keluar dari mulutku

tapi gong-gongan anjing kurap tetanggaku

juga menjadi saksi coreng moreng polahmu

Tapi, yakinlah

Bau busuk bangkai tentangmu

tak akan pernah kutulis dalam sajakku

Sebab, menggoreskan pena untuk jutaan dosamu

Hanya akan mengotori catatan buku harianku

Biarlah Tuhan,

Malaikat dan iblis yang tahu

kalau aku masih ingin menaburi tinja di wajahmu

Palembang, 20 Maret 2019

Sampah instan di Tenggorokan Anak Kita


Pagi menjelang siang

Hujan mengguyur Palembang

Pusat kota dan pojok gang menjadi lautan setinggi lutut

Orang harus menyingkap baju dan celana panjangnya

Busi-busi motor dan knalpot mobil

menjadi daging sapi glonggongan

ini lebih parah dari ompol anakku

Hingga siang menjelang

mendung menahan senyum matahari

langit seperti senja menyongsong maghrib

Matahari hanya menangis di balik  sinar merahnya

Orang-orang di komplek berteriak :

: banjir! banjir! Air got tumpah ke jalan

Seonggok sampah bertumpuk di ujung got

Bungkus-bungkus makanan produk kapitalis

Menyumbat aliran air di setiap selokan

orang-orang sibuk mengais plastik mie instan

dan membuangnya ke dalam tong sampah

tetapi, besok atau lusa, kembali berulang

besok pagi di bakar

tetapi, hari-hari berikutnya

ia akan kembali masuk ke tenggorokan anak-anak kita

Jl. Swadaya-Palembang, 26 Mei 2019

Sakit itu


Sakit itu, tak berwajah, tapi selalu bersua

Kapan saja, dimana saja

Tak kenal terang atau gulita

Tak kenal panas, atau saat hujan menerpa

Sakit itu datang tanpa salam, pergi tanpa kata

Tak kenal kepada ulama atau ulayat

Tak kenal kepada pejabat atau penjahat

Sakit itu tak berbenda, tapi ia berasa

Bagi siapa saja yang disuka

Tak pilih kuat atau tak berdaya

Tak pilih suku, bangsa atau agama

Sakit itu tak bernada, tapi bisa berirama

Sakit itu tak bersuara, tapi selalu menyapa

Tak pandang siapa dia

Tak pandang umur berapa

Tak pandang pria atau wanita

Sakit itu tak bisa di larang, datang dan pergi sesukanya

Tak bisa diusir seketika, walau dipaksa

Tak bisa hilang seketika walau disiksa

Tak bisa lenyap seketika walau dicerca

Sakit itu, tak berindera, tapi tak pernah salah menabur luka

Tak pilih bayi atau remaja

Tak pilih belia atau renta

Tak pilih miskin papa atau kaya raya

Sakit itu, datang kapan saja

dan dimana saja

Kata kita, sakit itu menabur luka

Tapi,

Tuhan berkata…

Sakit itu serpihan kecintaan

Pada Hamba-Nya

Pukul.02.33 WIB

Jl. Seruni – Palembang, 28 Des 2018

Admin

Media Online From Palembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *