
Pada saat membuka piranti sosial media, ada pesan berisi komentar dari satu tulisan pada halaman media ini. Beliau asli dari Sumatera Selatan dan sekarang menjabat sebagai ketua organisasi guru yang sangat disegani di republik ini.
Beliau memberi komentar antara lain berisi tulisan seperti judul tulisan di atas, yaitu”mati dem asal top”. Dengan disertai beberapa komentar khas yang tidak perlu ditulis pada halaman ini.
Membuat kenangan melayang jauh kebelakang di sekitar tahun 70-an silam; dalam pergaulan keseharian penulis sangat akrab dengan dialek bahasa ini di Bumi Sriwijaya.
Bahasa di atas adalah suatu adagium yang umumnya ada pada masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin dan beberapa wilayah Sumatera Selatan yang sekultur; arti harpiahnya adalah “biar mati asal terkenal”, kalau di Betawi kita kenal dengan “Biar tekor asal kesohor”.
Maksudnya, jika sesuatu yang diperjuangkan dalam hidup ini berkaitan dengan harga diri, nama besar kelompok atau marwah keluarga, maka sampai mati pun akan dilakukan asal harga diri dan keluarga terjaga namanya.
Walaupun terkadang adagium ini disalahpasangkan kepada perilaku yang kurang pada tempatnya. Maksudnya, sekalipun yang diperjuangkan hal yang remeh temeh, tetapi dipertaruhkan sampai nyawa melayang untuk agar bisa terkenal.
Slogan ini juga dipakai sebagai motivasi diri oleh seorang atlet dari Kabupaten Musi Bannyuasin dalam bertanding. Bahkan menurut penelusuran informasi digital ditemukan jejak pada tahun 2013 slogan ini pernah menggemparkan Stadion Singapura pada waktu pertandingan Sepak Bola U 13, yang Indonesia diwakili seluruh pemain dari Kabupaten Musi Banyuasin. Mereka meneriakkan yel yel “mati dem asal top”.
Luar biasa sekali daya dorong selogan ini terhadap spirit kelompok yang mereka bangun. Akhirnya mereka jadi juara dan tidak pernah sekalipun mengalami kekalahan. Itu bukti sejarah yang ada pada jejak digital, dan entah kapan akan terulang lagi.
Semua kita sisihkan terlebih dahulu, kita pahamkan tentang adagium ini, apakah semangat tersebut hanya milik saudara saudara kita dari Musi Banyuasin: jawabannya “iya” jika yang kita lihat atas fakta; sementara jika kita lihat semangat atau “roh”-nya, ternyata slogan ini dalam pemahaman lain juga dipakai oleh banyak pihak, namun dalam pengertian untuk kenekatan yang terkandang diluar nalar biasa.
….jika sesuatu yang diperjuangkan dalam hidup ini berkaitan dengan harga diri, nama besar kelompok atau marwah keluarga, maka sampai mati pun akan dilakukan asal harga diri dan keluarga terjaga namanya.
Sudjarwo, Akademisi Unila
Dengan kata lain, kecenderungan digunakan mewakili kondisi kenekatan diri terhadap persoalan yang dihadapi. Bahkan, pada suatu daerah ada pesan filosofis yang disampaikan orang tua kepada anaknya saat sang anak akan pergi merantau “…….pergilah merantau …jika nasibmu jadi ikan gabus, maka akan muncul kepermukaan. Jika nasibmu jadi batu, maka tenggelamlah ke dasar….” Luar biasa filosofis ini. Pada kesempatan lain akan kita bahas maknawinya. Semoga Tuhan masih memberikan waktu.
Pemicu semangat seperti ini, seperti disinggung di atas, jika ada pada ranah positif tidak menjadi persoalan. Menjadi fakta lain jika semangat itu untuk perbuatan yang tidak terpuji. Akibat ketidakterpujian ini, maka ayah dan anak bisa sama sama dikandangkan oleh Lembaga Anti Rasuah di negeri ini. Memang faktanya mereka menjadi terkenal, tetapi ketenaran atau keterkenalan itu justru membuat jatuhnya harga diri personal; lebih parah lagi jika menjatuhkan harga diri komunitas.
Ini adalah pembelajaran bagi kita semua, semboyan untuk meningkatkan bahkan menjaga semangat juang tetap tinggi, namun harus dalam koridor yang positif guna kemaslahatan umat manusia; bukan sebaliknya. Jargon khas Musi Banyuasin ini mentabalkan manusia pada suatu kondisi untuk tetap semangat dalam hal memperjuangkan kehidupan yang lebih baik; namun tetap dalam koridor hukum agama, negara dan adat istiadat. Salah satu cuplikan pidato mantan orang nomor satu di Provinsi Sumatera Selatan saat memberikan pengarahan pertemuan Kades se Sum Sel tahun 2013 mengatakan :
“Kareno kito melawan, bukan fisik. Belago itu zaman dulu, tapi kalau terpakso laju. Ilmu kades itu kendak kito tercapai, wong dak sakit hati. Jangan mati dem asal top. Itu buyan, lolo. Dak lagi pisau, badik di pinggang. Dak lagi zamannyo. Saya ingin mengatakan bahwa apa yang sudah, sedang dan akan dikerjakan….”
Tampaknya pejabat satu ini melihat diksi “mati dem asal top” dari sisi harfiah dan itu sah sah saja. Apalagi beliau seorang pejabat yang titahnya bisa menjadi api atau air. Walaupun seyogyanya tugas utama yang harus diemban semestinya adalah bagaimana membuat semangat itu menjadi bernilai positif, dengan kata lain mengubah kelemahan menjadi tantangan seperti hukum SWAT dalam manajemen.
Kearifan lokal yang kita punyai sekarang banyak yang kita lupakan, jargon jargon asing yang bukan berakar pada budaya kita banyak kita dengungkan. Hal itu tidak masalah. Hanya menjadi persoalan kenapa kita sudah punya sendiri, tetapi menginginkan sesuatu dari pihak lain; bahkan merasa bangga jika menggunakan produk asing.
Rasa nasionalisme yang memudar ini perlu penanganan yang lebih serius untuk mengembalikan kepada marwahnya terutama melalui pendidikan dan, sebelum terlambat yang asing tidak kita pahamkan, yang punya sendiri dicampakkan. Mari kita kembali ke qitoh kita sebagai bangsa yang memiliki kejayaan dan kedigjayaan masa lampau yang gemilang, kemudian melakukan adaptasi guna survive untuk menghadapi tantangan masa depan yang penuh persoalan agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sekaligus melakukan penyelamatan bangsa agar terhindar dari kehancuran.
Selamat ngopi pagi….
Sumber : teraslampung.com | Foto : pasca.unila.ac.id
Baco Artikel lainnyo :
Mengapa Mesti “MATI DEM ASAL NGETOP”
