Mengapa Jurnalisme Islam (Harus) Ada?

Ilustrasi : remotivi.coi.id

Jurnalisme yang berasaskan Islam bukan barang baru di tanah air. Apa saja prinsip-prinsipnya? Sebuah Tanggapan untuk Muhamad Heychael.

OLEH BEGGY RIZKIYANSYAH

Pada 19 Agustus 2019, Remotivi.or.id memuat tulisan Muhamad Heychael berjudul Jurnalisme Islam, Mungkinkah? Tulisan tersebut diawali sikap Heychael yang menyoroti persoalan praktek jurnalisme media Islam, yang dalam tulisan berbeda, menyebutnya sebagai situs kebencian yang mengatasnamakan Islam, seraya menyinggung organisasi Jurnalis Islam Bersatu (JITU) sebagai organisasi yang menaungi para pekerja media tersebut.

Heychael sebenarnya secara tidak langsung mengaitkan JITU dengan produk jurnalistik dari media yang disebutnya situs kebencian. Hal ini patut disayangkan, karena JITU bukanlah organisasi yang menaungi media, dan JITU tidak berhak mengintervensi redaksi media mana pun. Heychael pun mempersoalkan keberadaan kode etik JITU.

Meski penulis adalah anggota JITU, namun tulisan ini bukanlah jawaban resmi JITU dan tidak mewakili organisasi, tetapi tulisan ini mencoba menjawab satu hal lagi yang dipertanyakan oleh Heychael, yaitu sebuah kemungkinan tentang “jurnalisme Islam”.


Baco Tulisan Sebelumnyo : Jurnalisme Islam, Mungkinkah?


“Keberadaan JITU masih menyisakan pertanyaan bagi kita: apa itu ‘jurnalisme Islam’, dan apa yang membedakannya dari jurnalisme yang kita kenal hari ini?” demikian pertanyaan Heychael mengawali pembahasannya yang mengerucut tentang jurnalisme Islam.

Terlebih Heychael juga menyatakan dalam tulisannya bahwa ia menyatakan minatnya untuk mendiskusikan jurnalisme yang memakai Islam sebagai metode dan nilainya. Seraya menyatakan perbincangan tentang ini belum bisa ditemukan, terutama di tanah air.

Tentu ini hal yang menarik. Jurnalisme Islam bahkan sudah dipraktekkan sejak lama di tanah air. Lahirnya Pers Islam telah mendahului lahirnya Republik ini. Bahkan tokoh-tokoh pers Islam berkontribusi besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Soebagijo I.N. dalam Jagat Wartawan Indonesia misalnya, menyebut nama Zainal Abidin Ahmad sebagai salah satu tokoh pers yang mewakili pers Islam. Ia menyebutnya, “wartawan yang melandaskan perjuangannya pada ajaran-ajaran Islam” (Soebagijo I.N.: 1981).

Zainal Abidin Ahmad bukan saja sebagai tokoh yang mengusung pers berlandaskan ajaran-ajaran Islam tetapi juga menjadi tokoh wadah jurnalis muslim, yang saat itu disebut sebagai Wartawan Muslimin Indonesia (Warmusi) sejak tahun 1937. Warmusi kemudian mengembangkan sayapnya dari Sumatera ke Jawa.

Selain itu, pada 1-3 September 1980 pernah diadakan Muktamar Media Massa Islam Sedunia di Jakarta. Muktamar ini diikuti oleh 49 negara, 450 peserta baik dari kalangan wartawan, penulis, penerbit dan pemikir Islam dari berbagai negara. Selain membicarakan isu pembelaan Palestina lewat media, muktamar ini juga mendorong ikhtiar-ikhtiar terkait kerja-kerja jurnalistik, seperti mendorong berdirinya fakultas publisistik (jurnalistik) di kampus-kampus (Alex Sobur: 2004).

Muktamar ini berusaha merumuskan arti dari pers Islam, bahwa “pers Islam ialah segala liputan dan tulisan lainnya yang senantiasa mendasarkan pemberitaannya atas kebenaran Islam dengan cara dan metode yang diatur agama Islam, yakni bi al-mau’izhah al-hasanah (pendekatan yang baik), sehingga memungkinkan terjalinnya pembaca terhadap islam.” (Tri Masilkah, September 2012).  Rumusan muktamar ini jelas mencoba mencari cara kerja jurnalistik yang berlandaskan Islam.

Hal ini tentu saja menyiratkan bahwa sejak lama ada kesadaran untuk membedakan praktek jurnalisme para tokoh pers di Indonesia. Di tanah air perbincangan tentang jurnalisme Islam terus bergulir. Meski tidak memakai istilah “jurnalisme Islam”, topik ini nyatanya diperbincangkan di tengah publik.

Dengan demikian, sangat mengherankan jika Heychael mengaku tidak menemukan perbincangan ini di tanah air. Jika ia menggali khazanah sejarah ini, maka ia tidak perlu jauh-jauh mengutip Hamid Mowlana dari Amerika.

Upaya Heychael untuk mencoba membedah jurnalisme Islam dengan memakai tulisan dari Hamid Mowlana (2007) bagi penulis pun cukup mengherankan. Pertama, meski Mowlana menyebut gagasannya dapat menjadi panduan kerja jurnalistik, sesungguhnya ia tengah membahas komunikasi secara luas, tidak terbatas pada jurnalisme atau praktek kerja pers.

Kedua, mengapa Heychael hanya memakai satu rujukan dan tidak memakai rujukan lain sebagai perbandingan dengan pembahasan yang lebih spesifik? Ada banyak rujukan yang dapat diajukan, seperti yang dibahas oleh Sayed al-Seini (1986), Nurhaya Muchtar, dkk (2017), Mohammad A. Siddiqi (1999) Lawrence Pintak (2013), dan atau Janet Steele (2013), dan nama-nama lain juga banyak yang membahas jurnalisme Islam baik secara nilai maupun konsep.

Jika kemudian Heychael tidak merasa Mowlana memberikan penjelasan yang memadai, mungkin diperlukan sumber-sumber lain sebagai pembanding dan tidak hanya bersandar semata pada Mowlana, yang menurut Heychael. “seakan menulis konsepnya dari dari goa di Iran”.

Bagaimanapun, Heychael masih menyisakan ruang dialog, dan hal ini patut diapresiasi. Sehingga penulis merasa perlu untuk mencoba menawarkan satu uraian jurnalisme Islam demi menghilangkan kekhawatiran Heychael bahwa, “… ‘jurnalisme Islam’ hanya akan mengentalkan cara pikir sempit mengenai Islam, alih-alih meluaskannya.”

Mari kita mulai dari yang pertama. Mengapa (harus) ada Jurnalisme Islam?

Upaya-upaya untuk melaksanakan praktek jurnalisme dengan nilai dan landasan yang khas bukanlah hal yang aneh. Wasserman dan De Beer (2009) misalnya, menyatakan bahwa perspektif anglo-amerika dalam memahami teori dan praktik jurnalisme mendapat berbagai sanggahan.

Lawrence Pintak (2013), dalam studinya di tiga wilayah mayoritas Muslim; Indonesia, Pakistan dan dunia Arab, menyatakan bahwa Islam turut membentuk nilai-nilai jurnalisme yang mereka praktekkan.

Studi pintak juga menguatkan argument Janet Steele (2011) bahwa jurnalis di Indonesia dan Malaysia, “…mengekspresikan nilai-nilai universal jurnalisme, namun melakukannya melalui idiom Islam dan, secara lebih umum, melihat dan memahami pentingnya kerja mereka dari sudut pandang Islam.”

Penulis sendiri melihat bahwa salah satu titik penting pembahasan jurnalisme Islam(i) dapat bertolak dari kata “kebenaran”. Dalam jurnalisme, kebenaran memegang peranan sangat penting. Harian New York Times misalnya, menyebut tugas mereka menyampaikan kebenaran dalam pasal 15 kode etik mereka (Ignatius Haryanto, 2006).

Bill Kovach, meski menyebutkan bahwa kewajiban pertama seorang jurnalis adalah untuk menyatakan kebenaran. Namun menurutnya, “kebenaran, tampaknya, terlalu rumit untuk kita kejar. Atau mungkin ia tidak ada, karena kita semua adalah individu yang subjektif.”

Kovach sendiri menghindari pembahasan tentang kebenaran yang filosofis dan melihat dari sisi praktikal. Tetapi bagi seorang muslim, pengertian kebenaran itu sangat penting. Sebab Islam bukan sekedar agama yang mengatur soal ibadah ritual semata, melainkan juga membentuk pandangan hidup (worldview) atau ideologi, termasuk dalam jurnalisme.  (Lihat Lawrence Pintak, 2013; dan Nurhaya Muchtar, dkk., 2017)

Tentu saja ajaran dalam Islam tidak mengenal istilah jurnalisme. Namun dalam Qur’an disebutkan beragam kata yang berakar dari kata “naba” yang disebutkan sebanyak 138 kali. (Nurhaya Muchtar, dkk., 2017)  Naba yang berarti kabar (berita) menjadi salah satu hal penting dalam ajaran Islam.

Ibnu Taimiyyah membagi kabar menjadi kabar baik yang benar maupun yang keliru atau bohong. Kabar yang terpercaya (khabar shadiq) dalam Islam menurut Syed Naquib al-Attas haruslah didasari sifat-sifat saintifik atau agama yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik (Mohammad Syam’un Salim, 2014).

Dilhat dari otoritasnya, khabar shadiq menurut Mohammad Syam’un Salim, terbagi menjadi dua. Pertama otoritas mutlak yaitu Qur’an dan Hadist. Artinya, Al-Qur’an dan Hadist menjadi sumber kebenaran tertinggi. Kedua otoritas nisbi yang terdiri dari kesepakatan alim ulama (tawatur) dan orang yang terpercaya secara umum (Salim, 2014). Baik Qur’an maupun Hadist memberikan petunjuk untuk memperoleh dan menyaring berita dari ketidakjujuran, ketidakakuratan dan perbuatan jahat. (Nurhaya Muchtar, dkk.: 2017)

Mohammad A. Siddiqi dari Western Illinois University menyebutkan bahwa Qur’an dan sunnah membentuk bingkai tersendiri tentang definisi berita. Qur’an dan sunnah juga menentukan proses pengumpulan, pembuatan dan penyebaran berita dalam bingkai Islam. Hal ini menjadi kode etik bagi jurnalis Muslim.

Namun yang menjadi pondasi utama adalah konsep tauhid. Artinya, tugas jurnalis merupakan, “amanah (dipercayakan) oleh Allah dan tidak boleh digunakan untuk melukai satu jiwa pun demi promosi diri atau menjual berita. Sebaliknya, amanah ini harus digunakan, sebagaimana dinyatakan Dilnawaz Siddiqui, untuk sampai pada kebenaran. Jurnalis tidak boleh melupakan tujuan Allah dalam menciptakan alam semesta dan berbagai macam kehidupan.” (Siddiqi, 1999)

Nurhaya Muchtar dkk, menyebutkan ada empat prinsip dasar yang dibentuk oleh cara pandang dalam jurnalisme, yaitu konsep kebenaran (haqq), tabligh, masalahah dan wasatiyyah. Prinsip pertama, kebenaran (haqq) digali dari ajaran Islam yang melarang untuk mencampurkan yang benar (haq) dengan yang salah (bathil). (QS: 2:42) Mengutip kembali konsep khabar shadiq dalam Islam, maka tampak bahwa kebenaran dalam Islam merujuk pada kabar yang benar yaitu berdasarkan Qur’an dan sunnah.

Prinsip kedua menurut Nurhaya dkk adalah tabligh. Tabligh berarti menyebarkan kebenaran dan kebaikan kepada publik. Dalam konteks jurnalisme, tabligh berarti jurnalis harus berperan sebagai pendidik yang mempromosikan sikap positif kepada pembacanya dan mendorong mereka berbuat kebaikan. Prinsip ini menyatu dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar.

Prinsip ketiga adalah maslahah, yang maknanya mencari kebaikan untuk publik. Nurhaya dkk mendasarkan prinsip masalah pada hadist Rasulullah SAW yang mengajarkan agar kita mencegah keburukan dengan tangan, lidah, atau terakhir hatinya, sebagai tanda selemah-lemah iman.

Prinsip ini memberi sandaran pada jurnalis untuk memiliki sikap intervensionis dan parsitipatif. Jurnalis bukanlah sebagai pengamat yang menjaga jarak dan tak terlibat. Sebaliknya, jurnalis diharapkan untuk terlibat dalam wacana publik dan menjadi agen perubahan sosial di masyarakat.

Hal yang sama juga dipaparkan oleh Mohammad A. Siddiqi yang menyebutkan bahwa Islam menekankan baik konten, tujuan dan proses pengumpulan berita dalam lingkup tanggung jawab sosial kepada masyarakat (social responsibility). Berbeda dengan konsep tanggung jawab sosial kepada masyarakat barat yang individualis-pluralis, Islam mendasarkan tanggung jawab sosialnya berdasarkan amar bi al-ma’ruf wa nahi an al-munkar. (Siddiqi, 1999)

Prinsip yang disebut Nurhaya tentang tabligh juga sebenarnya dapat kita simpulkan sejalan dengan pendapat Pintak (2013) bahwa pendekatan Islam pada informasi utamanya berfokus pada menyebarkan agama, mengutamakan dakwah, hingga akhirnya membuat industri berita sebagai saluran untuk menyebarkan agama, mengubah jurnalis menjadi penyokong keadilan, kesaksian pada Tuhan dan menyadari tanggung jawab sosial mereka.

Prinsip terakhir jurnalisme Islami menurut Nurhaya dkk adalah wasatiyyah, yang berarti moderat. Sebuah konsep yang ditekankan dalam Al-Quran, surah Al-Baqarah ayat 143. Menurut Al-Sa’di, umat yang wasath (pertengahan) dalam Al-Qur’an berarti adil dan sempurna agamanya.

Bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala  melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. Nurhaya mengaitkan wasath (moderat) yang dalam konteks jurnalisme berarti impartiality (ketidakberpihakan) dan fairness (keberimbangan). Inti dari moderat menurutnya berarti keadilan.

Pemaparan di atas setidaknya dapat dikatakan sebagai upaya-upaya serius dari kalangan akademisi merintis satu konsep jurnalism Islam. Penerapan dan panduan jurnalistiknya misalnya telah dibahas oleh Faris Khoirul Anam (2007). Faris Menjelaskan konsep dasar kerja pers seperti mengklarifikasi berita, objektif dalam menjelaskan kejadian, hingga soal “amplop” untuk jurnalis dalam tinjauan fikih.

Tentu saja tulisan ini tidak mungkin membahas persoalan fikih yang panjang lebar. Tetapi setidaknya dari pemaparan ini kita dapat mengetahui bahwa upaya merintis jurnalisme Islam meski tidak melimpah juga bukan berarti tidak ada atau tidak diperlukan. Berbagai akademisi bahkan yang berasal dari Indonesia telah mencoba menelaahnya.

Tentu saja, jurnalisme Islam tidak bersifat tertutup, bahkan sangat terbuka dengan gagasan-gasan dalam dunia jurnalisme. Gagasan tersebut nantinya akan dilihat dari sudut pandang Islam sebagai satu pandangan hidup. Penulis menganggap berbagai gagasan yang mencoba membawa praktek jurnalisme di tanah air pantas untuk didiskusikan, dikritik, dan ditelaah. Dan semoga tulisan ini dapat menjawab kekhawatiran dan pertanyaan Heychael.**

Pustaka

Al-Seini, Sayed, 1986, “An Islamic Concept of News”, dalam American Journal of Islamic Social Sciences, 3, no. 32

Anam, Khairul, 2007, Fikih Jurnalistik: Etika & Kebebasan Pers Menurut Islam, Pustaka Al-Kautsar

Herman Wesserman dan Arnold S. de Beer, 2009, “Towards De-Westernizing Journalism Studies”, dalam The Handbook of Journalism Studies, disunting oleh Karin Wahl-Jorgensen dan Thomas Hanitzsch

Nurhaya Muchtar, dkk., 2017, “Journalism and the Islamic Worldview: Journalistic Role in the Muslim-Majority Countries”, dalam Journalism Studies, vol. 18

Pintak, Lawrence, 2013, “Islam, Identity and Professional Values: A study of journalists in three Muslim-majority regions”, dalam Journalism, vol.15

Sobur, Alex, 2004, “Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia”, dalam Mediator, vol. 5.

Steele, Janet, 2011, “Justice and Journalism: Islam and Journalistic Values in Indonesia and Malaysia”, dalam Journalism, vol.12.

Sumber : remotivi.or.id  |   Editor: Yovantra Arief

Admin

Media Online From Palembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *