Zulkani, Meminang Sukses Lewat Sepotong Mimpi

Zulkani Effendi,S.Kom,M.Si, Ketua Yayasan Gani Nusantara

Saya dulu pernah punya kawan yang latarbelakangnya berkucukupan secara ekonomi. Sementara saya jauh dibawah dia secara ekonomi. Tetapi karena saya sudah terbiasa hidup susah dari kecil, saat menghadapi persoalan yang susah, kita selalu siap. Tetapi teman saya yang biasa hidup kecukupan, saat terbentur masalah yang menyusahkan, akhirnya putus asa. Orang yang tidak terbiasa hidup susah sering rapuh dan mudah patah,

Zulkani Effendi,S.Kom,M.Si, Ketua Yayasan Gani Nusantara
Zulkani Effendi,S.Kom,M.Si, Ketua Yayasan Gani Nusantara

Demi meraih sebuah mimpi jadi guru, Zulkani Effendi*) terpaksa berlayar dari Solo dan berlabuh di Kota Palembang. Garis hidupnya seperti meminang sukses lewat sepucuk mimpi.

Menjadi guru, adalah mimpi yang bergelayut dibenak seorang Zulkani Effendi, S.Kom, M.si, sejak dirinya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1987. Hampir tak ada cita-cita lain yang terlintas dipikirannya, kecuali ingin menjadi seorang pendidik.

Zulkani memang tak lahir dari keluarga berada. Ayahnya, seorang petani yang taat menunaikan ajaran agama sekaligus pemuka masyarakat di kampungnya. Namun begitu, garis hidup soal cita-cita tak pernah tercerai-berai.

“Kalau ditanya, apa cita-cita saya? Jawabannya adalah saya ingin jadi guru,” katanya singkat.

Putra asli kelahiran Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat tak pernah berhenti menggapai mimpinya. Mewujudkan mimpi hingga akhirnya berbuah kenyataan, bagi Gani—panggilan Zulkani saat masih di kampung—tak lepas dari berbagai batu sandungan. Keluarga yang semula diharapkan Gani akan mendukungnya, justru mendorong Gani menjadi seorang ahli pertanian. Bahkan, keluarganya mendesak Gani harus masuk di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Padang, yang konsen memelajari ilmu pertanian.

Tapi tekad bulat yang mengalir di tubuh suami dari Emy Febrianti ini membawa pikirannya untuk masuk di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Sayangnya, menjelang ujian akhir di SMP, Gani mengalami sakit amandel, yang memaksanya harus gagal masuk di SPG.

“Waktu di SMP, saya sakit amandel dan menjalani proses perawatan dokter. Setelah sembuh pendaftaran di SPG sudah tutup. Akhirnya saya melanjutkan di bangku SMA, bukan di SPG,” tuturnya kepada Rinaldi Syahril dan Imron Supriyadi, dari KS, saat dijumpai di Kantornya, Yayasan Gani Nusantara, Kamis (29 November 2012).

Batal masuk di SPG tak juga mengurungkan niat Gani menjadi guru. Usai tamat SMA, ayah dari dua putra dan satu putri ini, melanjutkan pendidikan di Akademi Manajemen dan Informatika Komputer (AMIK) di Kota Padang, tempat kelahirannya.

Keahlian di bidang komputer membawa Gani ‘hijrah’ ke Kota Solo di Jawa Tengah. Tawaran menjadi konsultan komputer ia terima selama enam bulan. Dalam masa kontrak inilah, Gani secara perlahan telah mewujudkan dirinya sebagai guru, meski dalam lingkungan kerjanya ketika itu lebih disebut sebagai instruktur komputer.

“Memang istilah di lembaga pendidikan komputer disebut instruktur bukan guru. Tapi mengajari orang mendapat ilmu komputer menurut saya sama saja dengan guru. Kan mengajar juga. Makanya saat itu saya sudah merasa menjadi guru,” katanya.

Kontrak kerja di Kota Batik inilah menjadi awal karirnya. Tak disangka, pemilik dari lembaga pendidikan komputer tempat Gani menjadi instruktur adalah, Supadmi Kohar yang merupakan putra asli Palembang Sumsel.

Gayungpun bersambut. Di tahun 1994 Gani mendirikan sebuah Lembaga Pendidikan Pengembangan Manajemen dan Komputer (LPPPMK) berkat kerja sama dengan Supadmi Kohar di Kota Palembang. Perjalanan selanjutnya di tahun 1994, Gani mendirikan Diploma I Budi Darma, sebuah lembaga yang konsentrasi pada pendidikan keterampilan informatika dan komputer. Namun di tahun 1996-1998 Gani merasa prospek lembaga yang ia kelola harus dikembangkan menjadi sekolah tinggi.

Atas dasar itulah, dengan segala daya upaya, Gani mendirikan Yayasan Gani Nusantara, yang saat ini sudah mengelola tiga lembaga pendidikan; SMA Taruna Nusantara, SMK Pelayaran Gani Nusantara, dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Satya Negara yang beralamat di Jalan Sukarejo, Sukatani, Kenten, Palembang.


Artikel Terkait : Tahun 2025, Palembang Kota Sarjana


“Jujur, bukan uang yang ingin saya cari di yayasan ini. Melainkan adalah saya mencari sebuah kepuasan hidup yang sesuai dengan garis tuhan,” demikian alasan Gani mendirikan yayasan.

Lantas apa yang menjadi modal dasar Gani seberani itu mendirikan yayasan pendidikan di tengah mahalnya biaya pendidikan di sejumlah perguruan tinggi? Tak ada lain, modal yang ia tanamkan dalam dirinya adalah mimpi, usaha, dan do’a.

“Untuk mewujudkan cita-cita, kita harus punya mimpi. Kemudian kita wajib berusaha. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah do’a. Kalau semua itu sudah dijalani masih gagal juga, ya itu ujian bagi kita untuk lebih tegar dalam menghadapi hidup demi terwujudkan cita-cita, bukan malah patah,” tegasnya.

Gani boleh saja berkata begitu. Tetapi lain halnya dengan kebanyakan orang. Tidak sedikit orang yang putus asa akibat gagal meraih mimpinya.

“Orang yang seperti itu yang saya katakan, orang gagal satu langkah lagi sebelum finish. Sebenarnya dia itu tinggal satu tapak lagi sukses. Tetapi karena ujian terakhir yang ia lalui tidak lulus, akhirnya yang ia dapat kegagalan. Padahal gagal itu bisa saja sudah satu garis di bawah keberhasilan. Ini yang perlu disadari kalau semua keberhasilan akan selalu mendapat ujian dari Tuhan,” katanya.

Lalu, mengapa sebagian orang gagal banyak yang putus asa? Bagi Gani karena dari sekian banyak orang yang mudah putus asa dalam menghadapi kegagalan, karena diantara mereka tidak terbiasa hidup susah. Latar belakang yang glamour, mewah dan tercukupi fasilitas saat mengenyam pendidikan bukan jaminan orang itu akan tangguh dalam menghadapi segala tantangan dan ujian hidup.

“Saya dulu pernah punya kawan yang latarbelakangnya berkucukupan secara ekonomi. Sementara saya jauh dibawah dia secara ekonomi. Tetapi karena saya sudah terbiasa hidup susah dari kecil, saat menghadapi persoalan yang susah, kita selalu siap. Tetapi teman saya yang biasa hidup kecukupan, saat terbentur masalah yang menyusahkan, akhirnya putus asa. Orang yang tidak terbiasa hidup susah sering rapuh dan mudah patah,” Gani menyampaikan.

Gani berkata, pengalaman terpahit yang pernah  dialami adalah saat ia memeroleh hinaan dari orang lain.

“Sepahit apapun hinaan itu, saya pasti memaafkannya. Mungkin saat itu tuhan sedang menguji saya,” ujarnya.

Siap berbeda

Gani bak meminang sukses lewat sepucuk mimpi. Keberhasilan yang ia raih saat ini, karena dirinya siap berbeda dengan yang lain. Baik di mata manusia atau di mata Tuhan sekalipun. Bagi Gani, berani tampil beda bukan berarti kesombongan. Tetapi harus memiliki sesuatu yang lain dari kebanyakan orang. Dihadapan Tuhan juga harus berbeda.

“Kalau lembaga pendidikan yang umumnya tidak memberi biaya gratis, kita buat pendidikan gratis. Sebagian lembaga pendidikan menaikkan SPP, kalau bisa kita turunkan. Di mata Tuhan juga begitu. Kalau orang tidak shalat tahajjud, kita shalat tahajjud. Kalau sebagian orang lupa shalat dhuha, kita harus shalat dhuha. Ini dilakukan supaya kita berbeda di mata manusia dan juga di mata tuhan,” kata kandidat doktor Filsafat ini. **


Diprediksi, 2025 Palembang Kota Sarjana

Zulkani Effendi,S.Kom,M.Si, Ketua Yayasan Gani Nusantara

Masa kecilnya dipangil Gani. Tetapi saat di Kota Palembang lebih dikenal akrab di panggil Zul. Meski berdarah Minangkabau, namun tak menghentikan Zul untuk memberikan kontribusi pemikirannnya bagi pengembangan pendidikan di Palembang. Lantas apa yang digagasnya dalam pengembangan pendidikan? Berikut petikan wawncaranya :

Pak Zul, apakah Anda sudah merasa puas dengan apa yang sudah Anda raih sekarang?

Kalau dibilang puas, manusia itu tidak pernah akan puas. Tetapi untuk tahap awal untuk pengembangan pendidikan, ya Alhamdulillah sudah berjalan dengan baik.

Anda sudah berhasil mendirikan tiga lembaga pendidikan. Apa yang Anda inginkan ke depan dalam membangun percepatan pendidikan di Palembang?

Saya punya mimpi, di tahun 2025 Palembang bisa menjadi Kota Sarjana. Di Palembang kita harapkan tidak ada lagi yang tidak sarjana. Sehingga percepatan pengembangan pemikiran di Palembang, akan seimbang dengan perkembangan kota. Bukan saya merendahkan yang SMA, tetapi latar belakang pendidikan sangat berpengaruh pada pola pikir seseorang.

Dari mana Anda bisa memulai?

Sekarang sudah saya mulai dengan mendirikan lembaga pendidikan. Ada SMA Taruna Nusantara, SMK Pelayaran dan Sekolah Tinggi Satya Negara. Lembaga ini kedepan kita akan kembangkan menjadi universitas.

Apakah hanya dengan itu sudah cukup untuk memwujudkan Palembang Kota Sarjana?

Ini hanya permulaan saja. Menurut saya, di Palembang, atau bahkan di Sumsel sangat mungkin di bangun lembaga pendidikan perguruan tinggi. Tentu ini tidak bisa kita lakukan sendiri, tetapi juga diperlukan adanya partisipasi aktif dari pemerintah dan pihak lain yang memang menginginkan Palembang atau Sumsel ini lebih baik dari sebelumnya, terutama bidang pendidikan.

Dengan biaya pendidikan yang kian mahal, apakah gagasan Anda bisa terwujud?

Di lembaga yang saya kelola sekarang, ada sejumlah mahasiswa yang saya gratiskan. Sama sekali tidak saya pungut biaya. Yang penting mereka mau maju. Jadi, soal biaya sambil berjalan, Insya Allah ada saja jalannya.

Dari mana Anda menutupi biaya operasional, jika banyak yang digratiskan?

Saya sejak awal selalu yakin kepada Allah Swt. Tuhan  itu Maha Kaya. Kalau kita membantu orang lain sama halnya kita telah membantu diri kita sendiri. Semakin kita memberikan kepada orang lain, saya yakin ada saja rejeki dari langit yang datang tanpa disangka-sangka. Tetapi kita harus tetap punya mimpi, berusaha dan berdo’a. Makanya saya lebih memilih kalau ada lembaga perguruan tinggi yang menaikkan SPP, saya malah berpikir bagaimana menurunkan SPP. Ini sebagai bentuk tanggungjawab sosial kita agar membuka peluang bagi mereka yang ingin sekolah tetapi biayanya terbatas.

Dengan posisi seperti sekarang, apakah Anda sudah merasa cita-cita Anda menjadi guru terwujud?

Alhamdulillah, Allah sudah memberikan saya lebih dari seorang guru. Kalau dulu saya menjadi guru mengaji saat saya masih kuliah, kemudian menjadi instruktur komputer, sekarang saya mengelola lembaga pendidikan yang di dalamnya banyak para guru. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur.

Teks/Foto : Rinaldi Syahril

Editor : Imron Supriyadi

*) Zulkani Effendi,S.Kom,M.Si, Ketua Yayasan Gani Nusantara

Artikel Terkait : Tahun 2025, Palembang Kota Sarjana

Admin

Media Online From Palembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *