Eden, Pejuang di atas Angin

Eden Ariifin (Foto.Dok.KS/Rey)
Lukisan SMB II karya Eden Arifin, yang menjadi gambar di lembar uang pecahan Rp. 10.000 (Foto. palembangdalamsketsa)

Nama Eden Arifin tersembunyi dari halaman media massa baik lokal maupun nasional. Tapi karya Eden ini masih tersimpan di gemerlapnya kejujuran. Sesekali ia pun tersedu. Bukan karena sedang melukis panorama Jembatan Ampera terkini, melainkan Eden sepertinya ingin berlama-lama menatap gambar yang tertera di uang pecahan Rp 10.000.

Tak ada yang berubah pada Eden Arifin—perupa berpengalaman ini. Saat KS menyambangi rumah Eden yang berlokasi di Jalan PSI Sifoing Lautan, Lorong  Tapak Nyari, Kelurahan 32 Ilir, Kota Palembang, Eden berujar singkat.

“Silakan masuk, Nak. Ya, soal bagaimana ceritanya panjang. Nanti saya ceritakan,” kata Eden.

Di dinding itu ada beberapa lukisan baik kecil maupun sedang yang berderet. Masuk ke ruang tengah rumah, Anda bisa mengintip suasana orang yang sedang melukis yang nyaman. Di situ, misalnya, ada belasan alat lukis dan sopa lusuh. Sebuah lukisan teranyar milik si empunya rumah masih terpajang di ruang tamu. Cat lukisan yang sudah terbuhul dan lukisan-lukisan berbingkai seakan akan menisyaratkan tentang sebuah keputusasaan.

Karya milik Eden ini seperti mainan. Pernah satu hari Eden ingin berbalik ke awal ia menekuni profesinya sebagai seorang pelukis. Eden pun sesungguhnya ingin memertanyakan soal karya imajinasinya—sosok Sultan Mahmud  Badarudin II (Pemimpin kesultanan Palembang – Darussalam selama dua periode  (1803-1813 dan 1818-1821) yang tenggelam begitu saja.

“Dulunya saya melukis sosok SMB II itu hanya dengan imajinasi saja, kok. Banyak jenis lukisan yang sama, tapi tidak bisa dijadikan acuan aslinya,” Eden mengenang.

Cinta Eden pada lukisan tak pernah berubah. Ia juga selalu mengulik permainan tanda dan tangan untuk melahirkan sebuah karya lukisan. Dalam setiap lukisan Eden pun tidak ada kesan mesra yang berlebihan.

Foto : FB Taufik Arifin

“Dalam hidup saya ini hanya satu yang dipegang yaitu bekerja lebih keras,” kata Eden singkat.

Beres di ruangan kediamannya, Eden pun berkeinginan memastikan seperti apakah lukisan SMB II yang asli itu? Selesai berembuk, Eden akhirnya memberi usul ke Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang intinya usulan untuk memastikan lukisan siapa yang laik terpilih. Kala itu ada empat pelukis yang terlibat yakni Manaf, Suharno, Hartopo, Nuramiyan, dan Eden.

“Awalnya banyak yang meragukan skill saya. Wajar, karena waktu itu minim sekali data soal sosok SMB II. Hanya ada catatan pribadinya dengan ciri-ciri berumur antara 43 hingg 45 tahun, kumisnya tipis dengan janggut sedikit, alis tebal, dan wajah yang garang. Sosok lainnya ia juga selalu memakai kebaya panjang atau dikenal Kelampari yang ada tulisan tauhid tersembunyi,” Eden becerita.

Walau berbeda hasil sesama pelukis, namun berdasarkan kata sepakat akhirnya lukisan milik si Eden dinyatakan mendekati sempurna. Namun begitu, Eden juga diminta memerbaiki beberapa bagian dari lukisan tersebut. Misalnya, ciri khas nuansa Palembang lebih ditonjolkan—baju dalaman, keris, tanjak (penutup kepala, baju kembang cengkeh di kelampari hingga ikat pinggang.

Aroma puji dan bahagia itu dirasakan Eden tepat 1984. Waktu itu lukisan SMB II milik Eden secara resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto. Seketika keluarga Eden pun bangga tak sekira.

Kisah ‘lelucon’ itu dialami Eden persisdi tahun 2005. Eden kaget bukan kepalang. Karya lukisan SMB II miliknya yang semula ‘dititipkan’ ke pemerintah bahkan muncul di uang kertas Rp 10.000. Tersebab lukisan ini adalah hak cipta, Eden pun berusaha memertanyakan ke Bank Indonesia tentang adanya SMB II di uang kertas.

“Hanya ada jalan buntu. Gugatan saya tidak digubris,” beber Eden.

Eden tidak ingin pandangannya melenceng. Merasa karyanya dilecehkan, Eden pun bersama si kuasa hukumnya melayangkan gugatan. Dengan bermodal selembar surat Hak Ciptra yang diperoleh dari Departemen Hukum dan HAM, Eden datang ke Pengadilan Niaga, Jakarta. Tak dinyana sebalik dari pengadilan ini, Eden pun dituntut Rp 2 miliar. Alasannya? Lukisan milik Eden adalah milik Pemprov Sumsel.

“Walau pun lukisan itu saya serahkan ke Pemprov Sumsel, toh itu kan masih Hak Cipta saya. Ya, tapi sudahlah. Saya pasti akan tetap kalah di pengadilan,” nada Eden merendah seraya berkata ia sebagai pelukis asli sosok SMB II tidak bisa memastikan sekarang ini di mana lukisannya tersebut.

Hingga detik ini, melukis adalah mata pencaharian tetap dari Eden. Karyanya bukan semata lukisan SMB II, namun masih banyak lagi. Umumnya tema lukisan Eden bertemakan budaya dan ciri khas Indonesia seperti pemandangan sungai Musi dan jembatan Ampera, burung Cendrawasih khas Papua, serta lainnya.

“Jujur, saya sedih dengan kondisi sekarang ini. Orang tahu SMB II itu adalah seorang pahlawan. Tetapi, lihatlah tidak ada satupun sekolah yang memajang fotonya,” ucap Eden.

Setidaknya Eden adalah pejuang di atas kertas. Sosoknya inspiratif dan tegas. Dan, Eden Arifin berhasil membuat dokumentasi sosok SMB II lewat tangan dinginnya. *

Pelukis yang Kritis

Harun Rosidi Kamil

Pengakuan karya lukisan SMB II milik Eden Arifin sejatinya banyak diketahui banyak kalangan. Antara lain seniman rupa, Harun Rosidi Kamil (60)—kawan dekat dengan almarhum Manaf.

Jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Patung tahun 1979 lalu ini mengakui jika karya Eden yang kini tersebar luas menunjukan sosok SMB II yang aslinya. Namun demikian, banyak pihak juga termasuk Harun Rosidi Kamil akrab dipanggil Didik, jika sosok SMB II tercipta beradasarkan pemenang lomba. Dari lima pelukis diminta Pemprov diketahui kalangan luar, mereka mengikuti lomba.

“Tapi ibarat lomba atau sayembara tertutup tak banyak diketahui orang luar,” kata Didik.

Alasan tertutupnya lomba diduga oleh Didik karena Pemprov kala itu sepertinya tidak ingin jika sosok SMB II merupakan hasil lukisan.

“Apakah memang sosok SMB II seperti itu, kan masih tanda tanya,” jelas Didik. 

Masalahnya, yang diketahui Didik Pemprov sejak lama merahasiakan identitas pelukis.

“Apakah karena dengan alasan pemerintah tidak ingin masyarakat bergejolak seputar lukisan ciptaan itu kita tidak tahu,” lanjut Didik. 

Yang pasti, dalam pandangan Didik sebagai seniman senior, lukisan toh identik hak ciptanya dengan sang pelukis. Bila dipublikasikan lebih lanjut seharusnya sang pelukis diminta izinnya terlebih dulu. Rasa kecewa Eden sangat dipahami oleh Didik.

“Ini menunjukan bahwa apresiasi pada seniman masih sangat rendah. Dan keadaan di negara kita ini memang rancuh,” ujarnya.

Teks/Foto : Jemmy Saputera. Editor : Rinaldi Syahril

Admin

Media Online From Palembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *