
Pencabutan gugatan pasangan Calon Gubernur Sumsel, Syahrial Oesman-Helmy Yahya (SOHE) di Mahkamah Agung terhadap ‘sengketa’ hasil Pilkada Sumsel 4 September lalu, sekaligus menandai berakhirnya masa penantian terhadap pertanyaan siapa yang bakal duduk sebagai tampuk kepemimpinan Sumsel. Kemenangan Alex Noerdin-Eddy Yusuf (ALDY), sudah tentu akan berdampak langsung pada kebijakan dan mekanisme kerja, baik dalam konteks pemerintahan maupun kebijakan politik kebudayaan (berkesenian di Sumsel).
Di tengah penantian rencana pelantikan gubernur baru pada 7 November mendatang, bukan tidak mungkin pasangan ALDY sudah mencium ‘bau kurang sedap’ dari hasil Musyawarah Daerah (Musda) Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) yang berujung deadlock.
Sebagai calon pemimpin, pasangan ALDY memang wajib mengetahui persoalan ini. Tetapi lebih dari itu ALDY seharusnya bukan sekedar mengetahui kulit permukaannya saja, tetapi perlu memahami akar dasar persoalan, mengapa DKSS dari tahun ke tahun perdebatan antara ‘pelaku seni oposan’ dan pelaku seni pro-DKSS terus berlangsung.
Mengapa ini menjadi penting? Sebab tanpa mengetahui pokok persoalan yang mendasari ‘pertikaian’ panjang seniman di Sumsel, saya khawatir pertikaian seniman di Sumsel antara pro dan kontra DKSS warisan Gubernur Ramli Hasan Basri, Rosihan Arsyad akan berulang.
Ada semacam ke-khawatiran, kalau-kalau ALDY hanya akan muncul sebagai pengganti rezim sebelumnya, yang tetap akan memilih para birokrat kesenian sebagai pengelola DKSS. Sebab bukan tidak mungkin, dengan ‘ke-awaman’ ALDY terhadap historis konflik seniman pro-DKSS dan dan kontra DKSS di Sumsel menjadi peluang bagi pihak lain (baca; orang dekat) atau Tim Sukses ALDY, untuk menggolkan seseorang yang berada diluar para pelaku seni.
Bukan menuduh bila saat ini ada saja sekelompok atau person yang telah memulai ‘pasang kuda-kuda’ di era ALDY untuk merebut DKSS, dengan alasan hasil Musda deadlock.
Bila yang muncul adalah pelaku seni yang paham terhadap menejerial lembaga kesenian, saya katakan no, problem! Selama memiliki ‘niat baik’ untuk kemudian mengakomodir para pelaku seni dengan baik, please, deh! Tetapi bila kemudian DKSS hanya sekedar dijadikan ‘ajang proyek’ demi kepentingan pribadi atau sekelompok tertentu, dengan sangat menyesal, saya katakan ; go to heal! (pergilah ke neraka!).
Tentu untuk menapaki geliat kesenian di masa mendatang, DKSS membutuhkan ‘energi baru’ yang masih menyimpan banyak potensi segar, sehingga rencana strategis (renstra) DKSS benar-benar dapat menjadi maskot kesenian Sumsel dalam konteks nasional bahkan internasional. Paling tidak ada tiga hal yang bisa dikedepankan guna menciptakan ‘iklim baru’ dalam konteks berkesenian.
Mengutip Budayawan Erros Djarot—sebuah lembaga apapun namanya, termasuk DKSS didalamnya harus melakukan, pertama ; Penguatan Struktural. Ini menjadi penting, karena lembaga seperti DKSS bila tidak memiliki struktural yang kuat maka yang muncul kemudian adalah ‘kerja sendiri’ tanpa bisa mengakomodir kepentingan para seniman. Saya setuju dengan pernyataan ‘Penyair Gunung’ Samsu Indra Usman. Via SMS dia kirim pada saya “yang mempimpin DKSS harus orang yang tahu kebutuhan seniman”. Dalam SMS tidak menyebut namanya siapa yang difigurkan.
Paling tidak, bagi saya ungkapan ini bukan sebatas emosi seorang Indra yang tidak pernah bisa membaca koran karena sulit mendapat media massa di daerahnya. Tetapi, ini adalah ungkapan batin dari ‘atas gunung’ yang sudah sedemikian panjang perjalanannya mengamati sejarah berkesenian di Sumsel.
Saya menangkap, perkataan Indra ini sedikit banyak mewakili ‘kegelisahan panjang’ terhadap kinerja DKSS, tentu bukan untuk saya tetapi bagi sebagian seniman yang memang menginginkan perubahan.
Keputusan menyerahkan pengelolaan DKSS ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel, terkesan masih adanya tarik ulur kepentingan. Di satu sisi ‘seniman tua’ dengan menggandeng beberapa ‘seniman muda pro DKSS’ untuk melakukan kolaborasi struktural, dengan harapan ‘seniman tua’ masih tetap bisa bercokol di pucuk pimpinan DKSS.
Sementara, ‘seniman muda pro DKSS’ yang diberi janji struktural juga tidak lagi melihat perjalanan sejarah, bagaimana ‘seniman muda kontra DKSS’ yang tergabung dalam Majelis Seniman Sumsel (MSS) pernah menggelar kongres seniman pada 8 Juni 1998 di Mess Pertiwi, untuk kemudian MSS secara terbuka menolak hasil MUSDA di Baturaja 5-7 Juni 1998. Dalam posisi seperti ini, pemerintah tidak mau risiko munculnya ‘bentrok’ kedua kubu seniman. Akhirnya formatur yang telah disepakati menjadi deadlock.
Kedua; penguatan ideologi. Sangat jelas, dalam tubuh DKSS yang diperlukan bukan ideologi seorang birokrat, tetapi seorang ideolog kebudayaan (baca;berkesenian). Ini mencakup visi-misi, paradigma berkesenian, menejemen, leadership, enterpreuner, target out put DKSS dimasa mendatang, marketing produk DKSS bagi masyarakat plus menghargai karya seniman yang bisa hidup dan menghidupi seniman itu sendiri.
Ketiga ; penguatan jaringan. Dalam tubuh DKSS memerlukan sosok pimpinan yang memiliki jaringan kerja luas (network). Tidak cukup mengandalkan hasil studi banding yang tak jelas juntrungannya. Tidak cukup dengan mendatangkan teater dari Jakarta kemudian mendapat pujian. Tidak cukup dengan menggelar Festival Teater yang datangnya selalu mendadak dan sejenisnya. Tetapi penggalian potensi, pengembangan, pemberdayaan seniman dan karyanya itu lebih penting, dari pada menggelar event insidental dalam Festival Sriwijaya, plus diiringi dengan bermacam pelatihan-pelatihan SDM secara intensif.
Melalui sosok pemimpin yang memiliki jaringan kerja ini, kelak DKSS mampu menjembatani karya seniman sumsel untuk bisa ‘tampil’ dipentas nasional bahkan internasional. Tentu bukan sebatas mengirim kelompok tari ke Malaysia dalam Festival Kesenian Melayu.
Jauh lebih penting adalah, bagaimana dengan jaringan kerja ini DKSS dapat menjadi ‘jembatan emas’ bagi para seniman untuk kemudian mampu hidup dan menghidupi keluarga dari karya-nya.
Disinilah DKSS memerlukan sosok yang bukan sekedar seniman murni, tetapi juga seorang enterpreuner (wira-usahawan-bukan pengusaha), yang kelak bisa ‘menjual’ karya Seniman Sumsel di pentas global, bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk semua (baca ; seniman). Untuk bisa melaukan itu hanya figur yang memiliki network. Kalau tidak, DKSS akan kembali seperti katak dalam tempurung.
Sebagai bahan renungan, patut kita bertanya, dalam lima tahun sudah berapa banyak karya seniman yang mampu memberi ‘royalty keluarga’ bagi para seniman diluar honor juri dan upah membuat proposal? Sebut saja novel, kumpulan puisi, lukisan, patung, film, sinetron dan lain sebagainya.
Berapa banyak seniman yang dalam lima tahun ini bisa ‘membelikan BH isteri atau pacarnya’ dari hasil berkesenian? Novel Taufik Wijaya, Juaro dan Buntung, kenapa terbiar begitu saja, tanpa dikelola langsung DKSS? Biayanya, menejemen marketing-nya.
Kumpulan Cerpen Palembang yang konon sudah sekian banyak buku, kumpulan puisi penyair Sumsel, kemana karya-karya mereka? Cukup disimpan di kantor DKSS atau di Dewan Kesenian Palembang (DKP), untuk kemudian dengan bangga berkata’ aku adalah seniman? Kumpulan puisi terbaru Anwar Putra Bayu “Pada Akhirnya” kenapa harus orang Yogyakarta yang menerbitkan, bukan DKSS?
Lalu berapa pementasan teater yang kemudian layak jual, sebagaimana Teater Koma ‘KABARET’ yang sudah bersentuhan dengan industri media seperti Metro TV? Justru Samsu Indra Usman dalam situs sastra internet, karnya-nya sudah banyak menjadi perbincangan oleh para penyair dalam dan luar negeri. Padahal secara geografis, seorang Indra tinggal berada jauh di perdusunan yang sulit dijangkau oleh media massa. Tetapi komitmennya terhadap kesenian tidak bisa kita remehkan.
Beberapa catatan inilah pantas kiranya bila menjadi bahan masukan bagi ALDY, sehingga pada saatnya nanti DKSS akan menjadi jembatan bagi karya seni di Sumsel sekaligus dapat menjadi maskot ikim kebudayaan (berkesenian) di mata publik nasional dan ienternasional.
Bagi para pelaku seni, mengiringi babak baru pemerintahan di Sumsel adalah bagaimana kita wajib melakukan konsolidasi moral, komitmen, kebersamaan sehingga cita-cita dan hasil kongres seniman melalui MSS akan terwujud, yaitu; rebut kekuasaan! Ambil alih DKSS oleh seniman yang berjiwa progressif revolusioner! Lakukan perubahan! **
Tanjung Enim, 10 Oktober 2008